Kamis, 26 Juni 2008

PERISTIWA PENDIDIKAN

07/04/2005 13:53

Pendidikan Yang Mahal

Pendidikan yang baik, berkualitas dan murah adalah salah satu dambaan masyarakat Indonesia di tengah dunia pendidikan kita yang tengah dalam krisis kepercayaan. Meski kini pemerintah mempunyai kebijakan dalam menggratiskan kegiatan belajar-mengajar di sekolah-sekolah negeri, namun kenyataannya masih banyak sekolah yang memungut uang kepada siswanya dengan beragam alasan. Salah satu cara yang sering dilakukan adalah membuat program study tour, menarik uang bimbingan tes, dan uang yang terkait dengan ujian akhir nasional.

Seharusnya dengan adanya pertambahan jumlah anggota masyarakat yang berpendidikan tinggi (S1, S2, dan S3) ternyata tidak diikuti perbaikan situasi dan kondisi masyarakat. Artinya, orientasi pendidikan terlalu menekankan aspek praktis-pragmatis-ekonomis tanpa diimbangi nilai-nilai manusiawi yang justru sangat dibutuhkan bangsa ini.

Sebagai contoh Ketua Komite Sekolah SMP 105, Kembangan, Jakarta Barat, Slamet Riyadi, Rabu (6/4) kepada KOMPAS, mengungkapkan, seluruh siswa SMP di DKI diwajibkan membayar uang tes uji coba (try out) UAN sebesar Rp 22.000 per anak. Uang itu digunakan untuk penyelenggaraan dua kali uji coba, yaitu pada Maret dan April 2005. Sedangkan UAN dilaksanakan pada Mei 2005.

Sementara itu di salah satu SMP negeri di Klender, Jakarta Timur, salah satu orangtua siswa mengeluhkan adanya pungutan sebesar Rp 830.000 menjelang UAN. Menurut pihak sekolah kepada para orangtua, uang itu digunakan untuk biaya pendalaman materi, uji coba, piknik perpisahan siswa, hingga biaya pembuatan album foto siswa. "Pokoknya semua tinggal beres. Siswa ikut ujian terus ikut piknik perpisahan," ujar orangtua siswa tersebut.

Seorang siswa kelas III SMA negeri di Jakarta Timur mengaku diminta mengikuti acara study tour ke beberapa tempat, seperti Yogyakarta dan Bali. Padahal, waktu kelas II, pihak sekolah sudah mewajibkan siswanya ikut study tour ke kota yang sama.

Hal ini sangat berbeda dengan di luar negeri seperti Arab Saudi atau Jerman, atau Brunei, para mahasiswa dibebaskan sama sekali dari kewajiban membayar uang kuliah, karena semuanya ditanggung oleh pemerintahnya. Biaya tersebut sebagian dari jumlah itu disubsidi atau bahkan ditanggung seluruhnya oleh pemerintah. Dengan demikian, biaya peserta didik sendiri sangat rendah atau bahkan tidak ada sama sekali. Di Malaysia saja misalnya, anggaran untuk pendidikan disediakan 40% dri APBN di samping kepada dunia pendidikan diberikan berbagai keringanan, seperti di bidang perpajakan (di Amerika dunia pendidikan tidak dikenakan pajak lembaga).

Jadi dengan demikian, kita berbicara biaya pendidikan tersebut murah atau mahal karena kita menghitung dari kemampuan kita sebagai orang yang memerlukan pendidikan tapi harus membayar sendiri biaya pendidikan tersebut. Karena kemampuan ekonomi kita sendiri tidak dapat mencukupi untuk membiayai hidup kita, termasuk untuk biaya pendidikan, maka berapa pun besarnya biaya pendidikan tersebut terasa mahal. Sedang di luar negeri, biaya pendidikan terasa murah karena sebagian besar ditanggung oleh pemerintah atau dibantu oleh para pengusaha.

Supaya biaya pendidikan dirasakan murah oleh para peserta didik (para mahasiswa), maka yang harus diusahakan atau diperjuangkan, bukan supaya lembaga pendidikan menurunkan biaya pendidikannya, karena hal itu berdasarkan kebutuhan riil bagi terselenggaranya pendidikan, tapi agar pemerinatah dan masyarakat yang mampu (para pengusaha besar) yang menanggung biaya pendidikan.

Caranya, dengan meningkat anggaran belanja bagi pendidikan dalam APBN/APBD (berdasarkan UUD 45 dan UU No.20/2003) sebesar 20% (di luar negeri sebesar 40%) di luar gaji dan pendidikan kedinasan, sumbanga-sumbangan dari para pengusaha, terutama untuk membiayai penelitian-penelitian dengan mendapat insentif sumbangan yang diberikan ke dunia pendidikan dapat mengurangi pajak perusahaannya. Jadi, sekali lagi adalah salah alamat bila menuntut penurunan atau penghapusan biaya seharusnya ditujukan kepada pemerintah karena hal itu merupakan perintah dari UUD (Pembukaan, mencerdaskan bangsa, dan Pasal 31 (4) harus menyediakan dana sebesar 20%), serta kepada masyarakat (para pengusaha dan kaum aghniya/kaya).

Oleh Andi Wahyudin

Tidak ada komentar: